Cerita dari Sang Guru

Sedikit flashback 2 tahun ke belakang, saat saya masih duduk dibangku kelas 12 salah satu sekolah kejuruan swasta di daerah Kuningan Jawa Barat. Masih teringat jelas akan salah satu cerita motivasi yang kerap kali Guru mata pelajaran kejuruan berikan, setiap sebelum pembahasan materi kejuruan dimulai. Kini akan saya ceritakan kembali untuk mengingatkan sekaligus menjadi motivasi untuk saya pribadi dan pembaca tentunya. Walaupun tak sama persis seperti apa yang diceritakan Guru saya, tapi paling tidak maksud dan tujuan inti dari cerita ini tidak hilang.


Seorang ayah yang memiliki dua orang anak laki-laki, sebut saja namanya Bungsu dan Sulung. Kala itu ayah si bungsu dan si Sulung sedang dalam masa kritis, yaitu menghadapi sakaratul maut. Saat itu pula sang ayah berwasiat kepada kedua anaknya. Ada dua hal penting yang diwasiatkan sang ayah.

Pertama, "Jika kalian (Bungsu & Sulung) ingin keluar rumah dan pulang ke rumah, janganlah sesekali wajahmu terkena oleh sinar matahari".
Kedua, "Jangan menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadamu!".

Jauh-jauh hari sebelum ajal menjemput sang ayah, sang ayah itu sudah mempersiapkan pembagian harta warisan untuk kedua anaknya si Bungsu dan si Sulung. Harta warisan pun dibagi sama rata, 50% untuk si Bungsu dan 50%-nya lagi untuk si Sulung.

Harta warisan yang diberikan sang ayah adalah sebuah toko dengan nilai masing-masing aset sama rata.

Singkat cerita sang ayah yang sudah tiada, kedua anaknya pun Bungsu dan Sulung mulai menjalankan usaha toko yang telah diwariskan almarhum ayahnya. Tapi entah kenapa, setelah beberapa tahun kemudian usaha toko yang dijalankan si Sulung malah mengalami kebangkrutan, berbeda dengan usaha yang dijalankan si Bungsu yang semakin hari malah semakin mengalami peningkatan income.


Guru saya bilang... padahal, keduanya Bungsu dan Sulung sama-sama mendapatkan bagian yang rata, dan sama-sama menjalankan apa yang menjadi pesan terakhir sang ayah.

Mengapa bisa demikian? "Tanya sang guru pada saya dan teman-teman" sembari kami membisu memikirkan jawabannya.

Penyebabnya spele, yaitu berkaitan dengan 2 wasiat yang diwasiatkan ayahnya. Apa hubungannya? "Seraya hati saya berkata". Kemudian lanjut Beliau menerangkan.

Sebenarnya apa yang telah dilakukan mereka itu sama sekali tidak salah, mereka itu benar, mereka itu sama-sama menjalankan amanah sesuai dengan apa yang telah diwasiatkan sang ayah. "Guru saya Bilang begitu, saya semakin bingung kala itu".


Lanjut menerangkan. Keduanya memang sama, yaitu melaksanakan pesan terakhir ayahnya. Namun di sisi lain ada yang berbeda. Apa itu? Jawabannya adalah penafsiran mereka justru yang berbeda.

Si Sulung menafsirkan wasiat yang pertama bahwa jika aku tidak ingin wajahku terkena sinar matahari, maka setiap kali aku berangkat dan pulang kerja aku harus menyewa jasa becak (Naik ojek Becak) agar tidak terkena sinar matahari. Dengan begitu secara tidak langsung si Sulung melakukan pemborosan ongkos, sehingga lebih banyak pengeluaran. Padahal jarak antara rumah si bungsu dan si sulung ke tempat toko mereka masing-masing tidaklah terlalu jauh, hanya memerlukan waktu sekitar 30menit untuk sampai ditujuan dengan berjalan kaki.

Lain halnya dengan apa yang dilakukan si Bungsu. Karena si Bungsu tak ingin mengeluarkan uangnya secara cuma-cuma, maka dia sama sekali tidak pernah naik jasa angkutan becak untuk sampai di tokonya, melainkan ia selalu berangkat pagi-pagi buta Sebelum matahari terbit untuk sampai ke tokonya dan pulang ke rumah larut malam setelah matahari terbenam dengan berjalan kaki. Itu dia lakukan hanya karena wajahnya tidak ingin terkena sinar matahari sesuai dengan apa yang diamanatkan sang ayah. Dan karena si Bungsu selalu berangkat pagi-pagi, dengan begitu toko si Bungsu bisa buka lebih awal ketimbang toko-toko lain yang masih tutup. ...itu penjelasan yang pertama.


Kemudian untuk wasiat kedua yaitu "Jangan sesekali kalian (Bungsu & Sulung) menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadamu".
 
Pantas saja si Sulung tokonya mengalami kebangkrutan toh dia selalu memberikan begitu banyak hutang kepada pelanggan-pelanggannya dan tak pernah sekalipun ia menagihnya. Karena dalam pikirnya, apabila hutang-hutangku aku tagih, maka aku telah melanggar apa yang menjadi wasiat sang ayah dulu. Lain si Sulung, lain lagi dengan si Bungsu yang tidak pernah memberikan hutang kepada pelanggan-pelangganya. Hal ini si Bungsu lakukan karena apabila aku memberikan hutang kepada mereka, maka aku tidak akan bisa untuk menagihnya (karena sang ayah telah melarang-ku untuk menagih hutang kepada orang yang berhutang kepada-ku).

 
Dari cerita singkat diatas jelas, bahwa keduanya sama. Sama-sama diwasiatkan 2 hal oleh sang ayah, kemudian sama-sama diberi aset dengan nilai yang sama yaitu Toko. Namun keduanya memiliki pandangan dan pola pikir berbeda di dalam penafsiran maksud dan tujuan sang ayah. Hal yang patut kita contoh adalah pola pikir yang dilakukan oleh si Bungsu.


Begitulah kira-kira ceritanya, walaupun memang setelah saya coba search di google cerita seperti ini sangat banyak salinannya, dengan pernak-pernik dan sentuhan bahasa kalimat yang berbeda. Tapi ini saya posting hanya sebagai pengisi kekosongan Blog saya sekaligus mengenang peristiwa lampau yang insya allah membuahkan hasil yang baik. Dan tentunya sebagai bahan atau referensi bagi kaum pembaca untuk bisa memotivasi diri sendiri.

Lebih baru Lebih lama

Please click the cross to exit!

Contact Me